Ujian Terberat Sepanjang Hidup, Dimulai pada Bulan September 2022

Halo, long time no see..

Beberapa waktu ini aku benar-banar dalam keadaan yang sangat sibuk, mulai dari sibut secara fisik maupun mental sehingga aku ga sempat curhat dan menulis disini lagi. Tapi hari ini aku punya kesempatan untuk menulis kembali curhatan randomku karena keadaan sedikit lebih membaik dari sebelumnya.

Sebelumnya, aku ucapkan terima kasih kepadakalian yang secara random menemukan tulisan-tulisan aku di blog ini dan berseda memberikan komentar yang positif serta mensupport aku, terima kasih banyak karena aku sangat terharu membacanya dan memberikanku sedikit energi tambahan untuk bertahan dalam berbagai kesulitan hidup.

Aku pikir, hidup terberatku adalah saat masalah yang aku ceritakan pada postinganku sebelumnya sehingga rasanya aku ga bisa menahannya dan hopeless, tapi ternyata (yah, namanya hidup) akan selalu ada masalah yang menghampiri dan semakin bertumbuh kita, masalah pastinya ga akan semakin kecil.

akhir tahun 2022 tepatnya Bulan September aku kembali diberikan kejutan oleh Allah. Suamiku mengalami gangguan mental yang awalnya hanya didiagnosis oleh psikolog sebagai "Gangguan Penerimaan". Semuanya berawal dari sekolah, suami naik jabatan dari Wakil Kepala Sekolah, menjadi PLT (Pengganti Kepala Sekolah) yang otomatis membuat tugas dan tanggung jawabnya juga bertambah saat itu.

Mungkin untuk sebagian orang hal tersebut adalah hal yang membahagiakan dan membanggakan, tapi tidak untuk suamiku. Sejak awal pernikahan kami memang sering berkonflik tapi pada akhirnya masing-masing mencoba untuk saling mengerti dan akhirnya bertahan hingga saat ini. Awalnya aku pikir hal tersebut disebabkan karena perbedaan kami sebagai anak pertama (aku) dan anak terakhir (suami).

Aku pikir selama ini karena aku terlalu banyak menuntut dan tinggi ekspektasi terhadapnya sebagai suami, yang harus bertanggungjawab, melindungi, berinisiatif, dan sebagai pengganti sosok ayah dalam hidupku karena memang hanya dia satu-satunya yang aku miliki dalam suka maupun duka. Aku tipe orang yang ga terlalu menuntut perihal materi, akupun memiliki penghasilan walau berada di rumah saja, dan untuk masalah keperluanku aku bisa memenuhinya sendiri (seperti BPJS, telpon Pasca Bayar, Skincare, Baju, dll).

Tapi ternyata setelah mengetahui hal sebenarnya, aku rasa aku ga salah sepenuhnya. Aku ga banyak menuntut, hanya saja dia yang tidak mampu. Hal ini bukan tanpa sebab, semuanya berawal dari keluarga dan pola asuh orang tuanya. Pola asuh yang dia terima sangat berbeda dengan pola asuh orang tuaku terapkan terhadapku yang terasa seperti berada di medan perang, apalagi aku adalah anak pertama yang memiliki banyak tanggung jawab.

Sejak bulan Agustus aku melihat suamiku berubah drastis, sikapnya ga seperti dia yang sebelumnya, dia jadi orang yang cuek, suka melamun, seperti dikejar waktu jika pagi menjelang, dan tentu saja dia ga selera makan. Mulai dari situ aku terus bertanya apa penyebabnya dan terkadang aku marah karena dia tak kunjung berubah hingga September 2022.

Tanggal 12 September 2022 dia memiliki jadwal untuk menghadiri rapat disekolah lain sebagai Kepala Sekolah, ku siapkan sarapan, ku setrikakan bajunya, dan dia berangkat tepat pukul 07.30. Ku pikir tak ada yang terjadi setelah itu dan dia mungkin sudah sampai di tempat tujuan. Tapi nyatanya tidak, dia ke rumah orang tuanya yang kebetulan dekat dengan sekolah yang akan dituju tersebut, disana dia mulai melakukan gerakan-gerakan ga terkontrol tanpa henti (aku dapat gambaran ini setelah kakak iparku menelpon).

Saat yang bersamaan, aku ditelpon oleh mama kalau aku disuruh kerumah karena abah mau operasi hari itu. Ya, akhirnya setelah belasan tahun berdampingan dengan hernia, abah akhirnya bisa operasi hari itu. kondisi hernia abah sudah sangat besar dan membuat sulit beraktifitas normal, terkadang abah merasakan nyeri yang teramat sangat.

Aku bersiap dan mem-packing semua keperluan abah untuk opname di rumah sakit nantinya, memcucikan baju-baju dan sarung untuk abah yang membuat tenagaku banyak terkuras hingga tangganku sakit. Kemudian, aku mendapat telpon, kabar dari kaka iparku yang memberi tau kondisi suamiku saat itu.

Aku bingung harus berbuat apa, rasanya darah di badanku mengalir turun ke kaki semuanya dan aku membeku. ga tau harus berbuat apa, bicara apa, dan bagaimana. Yaa Tuhan, cobaan apalagi ini?" Aku bahkan tidak bisa menangis saat itu, hanya tertegun. Kaka bilang, suamiku tak mau lagi pulang ke rumah yang kami tempati, ku pikir apakah dia mau meninggalkanku? Apakah aku penyebab stressnya beberapa waktu ini sehingga dia begitu? aku rasa aku sudah melakukan yang terbaik menurutku dan aku tidak pernah menuntut macam-macam dari suamiku, aku terlalu mandiri untuk hal yang menyangkut materi.

Oke, aku menenangkan diri sejenak sambil berbicara dengan kakak ipar sembari menceritakan kronologi sebelum terjadi hal ini, in the end, aku disuruh untuk menyusul suamiku ke rumah mertua, tapi urusanku dengan abah belum selesai, abah belum berangkat ke rumah sakit, abah dan mama serta adik-adikku pun mengetahui hal yang menimpa suamiku, dan abah ga mau membuat aku repot, abah ga mau diantar ke rumah sakit, abah mau pergi sendiri saja dan ga mau menggunakan mobil, hanya mau dengan motor. Mungkin abah berpikir ga mau merepotkan aku dengan membayar biaya mobil yang lebih mahal. Berangkatlah abah sendirian ke rumah sakit menggunakan gojek.

Hatiku sangat hancur melihat orang tuaku (walaupun mereka menorehkan trauma di hidupku) harus pergi sendirian ke rumah sakit dengan kondisi seperti itu karena tak mau merepotkanku. Disisi lain aku harus memikirkan suamiku yang seperti itu. Berbagai pikiran berkecamuk saat itu, harusnya aku dan suamiku yang mengantarkan, harusnya aku tak menghadapi situasi seperti ini sendirian, harusnya ada seseorang yang membantuku. I'm standing alone in the storm!!

Terlebih sebelumnya karena suamiku orang yang tidak memiliki inisiatif untuk hal apapun membuat otakku bekerja ekstra keras, ga hanya memikirkan pekerjaan rumah saja, tapi aku juga harus berpikir untuk memenuhi kebutuhanku sendiri agar tak banyak merepotkan suamiku. 

Aku berusaha bersikap tenang setelah abah berangkat ke RS dan memastikan beliau sudah sampai dan registrasi untuk opname. Aku mendapat sedikit tekanan untuk segera menyusul suamiku kesana, tapi kondisi mental dan badan aku ga terlalu baik saat itu. Aku ga bisa membayangkan jika aku langsung berangkat ke rumah mertua saat itu, mungkin aku akan ikut menangis-nangis dan mengamuk karena saking stressnya dan bingung kenapa hal seperti ini bisa terjadi, mungkin juga aku akan gila.

Aku memilih untuk ga kesana hari itu, aku bilang ke kakak kalau aku mau pulang ke rumah saja, untuk menenangkan diri, toh suamiku disana sudah banyak orang yang mendampinginya, sangat berbeda denganku yang harus melakukan dan mencerna setiap masalah sendirian. Pikiran ku harus tenang, dan aku memilih untuk menyendiri di rumah, ditemani cemong kucingku.

Sejak pagi aku ga sempat sarapan, hanya menyiapkan makan untuk suamiku dan sampai kembali ke rumah aku ga makan juga, hanya makan sebungkus mie gelas hingga keesokan paginya pikiranku masih kacau dan ternyata suami memilih untuk pulang menemuiku sambil membawakan 2 bungkus nasi kuning karena dia tau betul kalau aku sedang ada masalah pasti aku menolak untuk makan.

Dia datang, mungkin secara kasat mata masih terlihat normal, tapi setelah aku perhatikan baik-baik, memang ada sesuatu yang berbeda dengannya. Aku mulai menangis dan ga tau harus ngomong apa lagi sambil makan nasi kuning tersebut. Dia bilang ke aku : "Kita bisa melewati ini bersama".

Setelah hari itu,suamiku masih aktif masuk ke sekolah, tapi keadaannya terlihat makin memburuk, ga hanya sering melamun, tapi saat pagi gerakannya sangat tidak terkontrol dan aku kewalahan menahan badannya yang besar selama berjam-jam. Dia seperti mengalami serangan panik dan lagi-lagi aku ga tau harus berbuat apa selain memeluknya erat agar dia tak terlalu bergerak. Hal tersebut hampir tiap hari aku lakukan dan berat badannya juga turun drastis hingga terlihat sangat kurus dengan aura wajah yang suram.

Akhirnya hampir setiap hari aku temani dia berangkat ke sekolah karena aku khawatir terjadi apa-apa di jalan, tapi beberapa hari badanku sudah tumbang karena sangat kelelahan. Akhirnya aku memutuskan untuk membawanyake Psikolog di RS dekat dengan sekolah.

Ceritanya terlalu panjang, mungkin aku akan menulis kelanjutannya di postingan berikutnya :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa Kabar Kehidupan Bertetangga Kalian?

Aku Merasa Tidak Diinginkan tapi Dibutuhkan